NTB.Suara.com – Gara-gara memanggil Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil dengan sebutan ‘maneh’, guru SMK di Cirebon Muhammad Sabil Fadillah (34), dipecat karena dianggap tidak sopan. Lantas bagaimana dengan Dedi Mulyadi, apakah boleh dipanggil maneh?
Kang Dedi Mulyadi bertemu Sabil di Cirebon. Pertemuan keduanya diunggah dalam kanal Youtube Kang Dedi Mulyadi Channel.
Saat itu Kang Dedi mengorek soal pendidikan Sabil. Diketahui, Sabil adalah sarjana komunikasi dari Universitas Islam Bandung (Unisba). Dia kemudian mengajar di SMK sebagai guru desain komunikasi visual (DKV).
Sabil mengaku aktif di media sosial sudah lama. Sejak 2003. Dia menjelaskan, media sosial mulai tahun 2010 lebih sebagai digital cloud. Artinya sebagai tempat menyimpan kenangan atau memory.
Baca Juga:Berkat Kang Dedi Mulyadi, Usaha Rongsok Dedi Dida Mulai Berkembang
Kang Dedi menyahut bahwa artinya medsos hari ini mengarsipkan kenangan. Seperti dia mengunggah video atau foto bersama Nyi Hyang (anak ketiga). Begitu juga kata maneh menjadi trending belakangan ini.
“Berarti boleh manggil maneh ke akang?" tanya Sabil kepada Kang Dedi.
Ditanya begitu, Kang Dedi tidak langsung menjawab. Dia menjelaskan bahwa dirinya adalah penganut pandangan Sunda Asli.
"Jadi gini, saya ini orang yang termasuk penganut bahwa di Sunda yang asli itu tidak terkenal undak usuk," tandas Dedi.
Kang Ded mengatakan, dia menganut Sunda Asli yang biasa disebut Sunda awal atau Sunda wiwitan, yaitu Banten, ke bawah itu sebagian Sukabumi, sebagian Bogor, yang disebut dengan sejarah Pakuan Pajajaran.
Baca Juga:Emak-emak Adu Mulut, Kang Dedi Jadi Wasit, Gadis Tunarungu Jadi Korban KDRT
Diketahui Pakuan Pajajaran merupakan ibu kota dari Kerajaan Sunda yang pernah eksis pada tahun 1030-1579 M. Pada masa itu, di Asia Tenggara ada kebiasaan menyebut nama kerajaan dengan nama ibu kotanya, sehingga Kerajaan Sunda sering disebut Kerajaan Pajajaran.
"Jadi di situ tidak ada tingkatan, jadi ada bahasa-bahasa yang di kita (orang Sunda) yang ditabukan, di sana menjadi hal yang biasa diucapkan," jelas Kang Dedi yang dikenal juga sebagai pemerhati Budaya Sunda.
Kang Dedi menjelaskan, dalam Sunda asli tidak ada tingkatan manusia. Semuanya sama.
“Karena orang Sunda hidup dalam kesetaraan,” jelas dia.
Lalu, Kang Dedi melanjutkan penjelasan sejarah Sunda Priangan yang sudah terpengaruh oleh Mataram di Jawa Tengah. Pengaruh itu salah satunya ada stratifikasi manusia.
Di sinilah mulai muncul adanya undak usuk atau tingkatan dalam berbahasa. Dalam istilah Jawa, undak usuk sama dengan unggah ungguh. Ada tingkat kasar, menengah, sampai halus yang dibawa pada masa feodalisme zaman kerajaan di Jawa, terutama Mataram.
“Ada menak, ada cacah, aya turunan ningrat, aya turunan cacah. Sehingga ada tingkatan bahasa,” jelasnya.
Akan tetapi, anggota DPR RI ini menyatakan, bahwa bahasa itu bukan kalimat 'maneh', bukan kalimat 'sia', bukan kalimat apa pun.
“(Bahasa) tergantung hati, hati kita. Jadi kalau pun bahasanya halus, ya, kalau hatinya benci, tetep aja nyelekit (menyakiti)," ujar Kang Dedi.
Sebaliknya, kata Kang Dedi, bahasa yang disebut kasar itu bisa berarti keakraban. Bahkan menjadi kata sayang.
Kang Dedi mengingatkan bahwa kata 'maneh' dipakai di beberapa wilayah untuk istri sebagai kesayangan, sebelum ada istilah 'bebeb' atau 'ayang'.
Juga pernah dipakai dalam sebuah lagu berjudul 'Potret Manehna' karya Nano S. Kata manehna ini untuk memanggil pujaan hati.
Walau begitu, Dedi Mulyadi mengkritik Sabil, lantaran 'maneh' tetap bisa debatable di sejumlah daerah. Apalagi bagi warga di wilayah Sunda Priangan, kata 'maneh' terkesan kasar bila disampaikan oleh warga kepada gubernur. (*)